Senin, 17 September 2018

Seperti Apa sih, Hijrah dan Islam yang Sesungguhnya?


H
ijrah merupakan fase penting seseorang untuk memperbaiki diri. Hijrah yang secara harfiah berarti “meninggalkan” merupakan roh yang menjiwai gerakan seorang Muslim. Hijrah kemudian sering kali dimaknai sebagai perpindahan atau peralihan dari satu ke lain kondisi.

Hijrah sendiri sering diambil dari hadits terkenal. Esensi hadits hijrah ini ditangkap oleh ulama fiqih sebagai pesan penting Rasulullah SAW perihal niat seseorang dalam berbuat baik. Hal ini tidak jauh dari pemahaman kalangan sufi yang menempatkan hijrah sebagai kebulatan tekad untuk Allah dan rasul-Nya sebagaimana keterangan Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berkut ini:
وانظر إلى قوله صلى الله عليه وسلم فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه فافهم قوله عليه الصلاة والسلام وتأمل هذا الأمر إن كنت ذا فهم

Artinya, “Perhatiknlah sabda Rasulullah SAW, ‘Siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. Renungkan perihal ini bila kau termasuk orang yang memiliki daya paham.”




Syekh Ibnu Abbad mengatakan bahwa hijrah kepada Allah dan rasul-Nya adalah tuntutan secara eksplisit terhadap manusia untuk membulatkan hati semata-mata untuk Allah dan larangan secara implisit untuk memberikan hati untuk segala hal duniawi.

فقوله فهجرته إلى الله ورسوله هو معنى الارتحال من الأكوان الى المكون وهو المطلوب من العبد وهو مصرح به غاية التصريح وقوله فهجرته إلى ما هاجر إليه هو البقاء مع الأكوان والتنقل فيها وهو الذي نهى عنه وهو مشار به غير مصرح. فليكن المريد عالي الهمة والنية حتى لا يكون له التفات إلى غير ولا كون ألبتة

Artinya, “Kata ‘maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya’ mengandung pengertian berpindah dari alam kepada Penciptanya. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Tuntutan ini diungkapkan dengan sangat eksplisit. Sedangkan kata ‘maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya’ mengandung pengertian kebersamaan dengan alam dan hanya berpindah-pindah di dalamnya. Ini yang dilarang dari seorang hamba. Larangan ini diisyaratkan secara implisit. Oleh karena itu, seorang murid hendaknya memiliki semangat dan cita-cita yang muia sehingga tidak lagi berpaling sama sekali kepada yang lain dan alam,” (Lihat Ibnu Abbad, Gayatul Mawahibil Aliyyah, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: 2012], juz I, halaman 37)


Pemahaman ulama fiqih dan para sufi terhadap hadits ini tidak berbeda jauh. Niat menjadi landasan perbuatan baik. Bahkan para sufi mengingatkan untuk tidak terpedaya dengan sesuatu yang secara kasatmata adalah nikmat dan syariat Allah.
وقال الشبلي رضي الله تعالى عنه احذر مكره ولو في قوله كُلُوا وَاشْرَبُوا يريد لا تستغرق في الحظ ولتكن في شيئ به لا بنفسك فقوله كُلُوا وَاشْرَبُوا وإن كان ظاهره إكراما وإنعاما فإن في بطنه ابتلاء واختبارا حتى ينظر من هو معه ومن هو مع الحظ

Artinya, “As-Syibli RA berpesan, waspadalah dengan tipu daya-Nya meskipun dalam firman-Nya dikatakan ‘Makan dan minumlah kalian,’ (Al-Baqarah ayat 60). Ini maksudnya adalah pesan ‘Janganlah kalian tenggelam di dalam keinginan. Hendaklah kalian tetap bersama-Nya dalam setiap hal, bukan bersama nafsumu.’ Perintah ‘makan dan minumlah,’ meskipun secara kasatmata adalah bentuk penghormatan dan pemberian nikmat, tetapi secara batin adalah ujian dan cobaan sehingga seseorang dapat melihat siapakah dirinya ketika bersama Allah dan siapakah dirinya saat bersama nafsu,” (Lihat Ibnu Abbad, Gayatul Mawahibil Aliyyah, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: 2012], juz I, halaman 37).

Dapat dikatakan bahwa hijrah bagi para sufi adalah upaya keras untuk memberikan hati semata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Ini yang disampaikan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam dengan mengutip Surat An-Najm ayat 42:
لا ترحل من كون إلى كون فتكون كحمار الرحى يسير والمكان الذي ارتحل إليه هو الذي ارتحل منه ولكن ارحل من الأكوان إلى المكون (وَأَنَّ إِلَى رَبِّكَ الْمُنْتَهَى

Artinya, “Janganlah kau berpindah dari alam ke alam karena kau akan seperti keledai pengilingan, di mana tujuan yang sedang ditempuhnya adalah titik mula ia berjalan. Tetapi berpindahlah dari alam kepada Penciptanya. Allah berfirman, ‘Hanya kepada Tuhanmu titik akhir tujuan,’ (Surat An-Najm ayat 42).”

Dengan demikian, hijran tidak dimaknai perpindahan dalam arti fisik, geografis, atau perilaku yang kasatmata. Hijrah bagi para sufi dan juga ulama fiqih sebagai kekuatan batin dalam menyisihkan segala sesuatu selain Allah dari dalam hatinya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi hambaNya yang lemah ini sehingga bisa menyelesaikan tulisannya. Dan sungguh kepadaNya senantiasa diminta ampunan, kemurahan dan ijabah (pengabulan doa)
Dari tulisan ini dapat dirumuskan beberapa poin berikut ini :
1. Allah Yang Mahaagung dan Mahaperkasa menjadikan beberapa sebab dan kunci untuk rizki, di antaranya :
• Istighfar (memohon ampun kepada Allah) dan taubat kepadaNya.
• Takwa. Dan hakikatnya adalah menjaga diri dari yang menyebabkan dosa atau mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya atau menjaga diri dari sesuatu yang menyebabkan siksa
• Tawakal. Yaitu menampakkan kelemahan serta bersandar sepenuhnya kepada Allah semata.
• Beribadah sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu bersungguh-sungguh dalam mengkonsentrasikan hati ketika beribadah kepada Allah SWT
• Mengiringkan haji dengan umrah. Maksudnya,melakukan salah satu lalu melanjutkannya dengan yang lain.
• Silaturahim. Yaitu berbuat baik kepada kerabat/keluarga dekat.
• Berinfak di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu berinfak untuk sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
• Memberi nafkah kepada orang yang sepenuhnya menuntut ilmu syar’i (agama)
• Berbuat baik kepada orang-orang yang lemah.
• Berhijrah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yakni keluar dari negeri kafir ke negeri iman untuk mencari keridhaan Allah sesuai dengan syariatNya.

2. Istighfar dan taubat itu wajib dengan perkataan dan perbuatan. Sebab beristighfar dan bertaubat denan lisan saja tanpa perbuatan, maka hal itu adalah prilaku para pendusta. Sebagaimana takwa itu harus dengan menjaga diri dari berbuat maksiat kepada Allah, mentaati perintah-perintahNya serta menjauhi larang-laranganNya. Dan sungguh pengakuan semata, sama sekali tidak bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat.

 3. Bertawakal dan beribadah sepenuhnya kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha untuk mencari penghidupan.
4. Silaturahmi itu tidak saja terbatas dalam hal harta, tetapi menyambung (memberikan) apa yang mungkin diberikan dari kebaikan kepada keluarga dekat, serta menolak bahaya dari mereka sesuai dengan kemampuan. Dan silaturahim dengan ahli maksiat tidaklah menuntut adanya kecintaan, kasih sayang dan mendiamkan kemaksiatan mereka, tetapi silaturahim dengan mereka adalah berusaha menghalangi mereka dari melakukan kemaksiatan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar